Aku terlahir di tengah keluarga bagahia penuh berkah, penuh rahmat dari Allah, siapa lagi kalau bukan Tuhan yang Maha Esa dan Kuasa. Dengan kuasaNya itulah aku hidup, dengan kuasaNya itulah terlahir. Aku senang aku bahagia.
Ayah, Ibu, dan terutama adikku. Adik segalanya bagi aku dan kehidupanku. Memberi petunjuk dikala ku lepas dari jalanNya, memberi petunjuk dikala ku lupa akan nikmatNya.
Adik sebagai sahabat, adik yang juga sebagai kekasih. Kekasih yang lebih baik, lebih mengerti dari kekasih siapapun juga. Tapi masih belum sesempurna kekasih Allah, yaitu seorang Nabi. Nabi yang selalu memberi petunjuk dan nasihat baik pada umatnya, dan menurutku adikku hampir seperti itu. Tapi itu hampir dan bukan sama karena itu tidak akan pernah terjadi.
Bahkan saat orangtua tak ada untukku, datanglah adikku. Menghibur saat ku sedang nestapa. Aku bersyukur bahkan sangat bersyukur. Tuhan telah mengirim adik seperti ini. Tapi itu takkan terjadi jika tak ada orangtuaku. Aku juga beterimaksih pada mereka, orangtuaku.
Mereka berhasil menjadikan adikku sebagai seseorang yang baik dan benar. Tak hanya di mata manusia bahkan di mata Tuhan sekalipun. Dengan kejujuran dan ketulusan hati yang mereka miliki. Yang asalnya sudah tak diragukan dan bisa ditebak lagi. Pasti darimu Tuhan, Tuhan Maha Sempurna dan Maha segalanya “terimakasih” .
Tak tahu kenapa setiap melihat adikku aku langsung tersadar dan terbangun dari tidur mungkarku yang selama ini menerjang tiba-tiba. Sungguh ini benar-benar fakta. Aku sayang adikku bahkan cinta dan sangat. Aku tahu itu, begitu juga adikku pasti dia juga mempunyai perasaan yang sama padaku. Seorang kakak yang seharusnya lebih dewasa dari adiknya tapi ini bukan bahkan tidak SAMASEKALI !!!!
Kadang aku malu, tapi bukan kepada manusia tapi pada diriku sendiri dan pada Tuhan. Kami tercipta sama-sama sebagai manusia bahkan sebagai saudara kandung. Aku terlihat begitu bodoh saat bersanding dengan adikku. Dia begitu gagah, begitu menawan, begitu rupawan.
Dengan jubah putih panjang yang melekat di badan indahnya itu. Membuat wanita manapun jatuh cinta padanya. Ditambah kulit putih yang melengkapi kesempurnaan fisik itu, membuat orang yang melihatnya tak ingin pergi dan jauh-jauh darinya. Senyuman dan sapaannya begitu memepesona. Yang tambah membuat istimewa adalah kejujuran dan ketulusan hatinya yang benar-benar nyata. Aku bangga benar-benar bangga. Bukan bangga karena fisiknya tapi karena kejujuran dan ketulusan yang dimilikinya.
“Uh…bodoh!!! Aku bangga dengan adikku. Tapi kenapa kadang aku jengkel juga karena aku selalu terlihat bodoh ketika berada di sampingnya”
Tapi juga tak selalu dan tak selamanya aku menyesali ini. Aku sadar dan aku bukan sombong. Kalau aku bodoh kenapa selama ini aku mencoba mempelajari hal hal baik, yang selama ini diremehkan setiap orang. Kenapa juga kalau aku bodoh aku mencoba mempelajari bahkan mengamalkan isi kitab suci. Kenapa juga kalau aku bodoh aku membagi ilmu cetek yang kupunya ini kepada manusia-manusia miskin ilmu miskin iman?
Ya, aku sadar itu. “Kalau dipikir-pikir aku juga nggak bodoh-bodoh amat” tapi memang adikku lebih bagiku. Lebih apapun itu.
Tapi………………tidak untuk sekarang. Kejujuran yang selama ini dibangun dan dicipta susah payah oleh orangtuaku hilang dan musnalah sudah.
Adikku bukan seperti dulu. Adikku bukan adikku yang dulu. Semua berubah, semua hancur sudah. Aku benar-benar tak mengerti.
“Apa mungkin ini salahku” tak bisa mendidik adik yang seharusnya menjadi tanggungjawabku ketika orangtua tak ada. Tak bisa menjaga adik untuk selalu berbuat semestinya. Tak bisa merawatnya ketika sakit iman sakit ilmu datang begitu saja.
Aku menyesal. Aku kecewa. Menyesal dan kecewa pada diriku sendiri. Entah kenapa ini semua bisa terjadi. Entah kenapa ini semua harus terjadi pada adikku, kenapa harus adikku?
“Tuhan….kembalikan semua Tuhan. Kembalikan semua untuk adikku. Bahkan aku rela menukar nyawaku untuk kembalinya kejujuran dan ketulusan hatinya Tuhan, hati adikku….”
Seharusnya aku yang sebagai kakak memberikan sesuatu pada adikku, sesuatu yang takkan membuatnya seperti ini. Menjadi seperti tak pantas lagi disebut sebagai manusia. Bahkan tak pelak lagi menjadi seorang manusia mengerikan di planet ini.
Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Hanya menyesal dan berdosa yang sekarang sedang melandaku.
Saat itu tepat tanggal 23 Maret 1997, adikku mulai membuat masalah besar yang sama sekali tak ku sangka dan sadari. Saat itu adikku mulai mengenal pacaran. Bahkan lebih mengejutkannya lagi, saat itu adikku telah mempunyai pacar, yang selama ini tak ku ketahui.
Aku semakin sadar dan tahu, berarti selama ini adikku telah berubah sebelum tanggal 23 Maret, waktu di mana aku merasa sangat tak berharga dan tak pantas lagi dipanggil ‘Kakak’. Aku menyesal….
Adikku semakin menjadi, yang pada akhirnya orangtuaku mengirimnya ke Pondok Pesantren. Tempat di mana nantinya dia akan dibimbing. Tapi belum ada satu minggu di sana, adikku sudah keluar. Keluar bukan karena kemauan ayah dan ibu. Tapi keluar karena kemauannya sendiri. Kabur bersama kekasih barunya, meninggalkan yang dulu.
Betapa hancur hatiku melihat adik yang selama ini kubanggakan dan kudidik akhirnya tumbuh menjadi manusia yang seperti ini. Apalagi orangtuaku, mereka tambah hancur. Selama ini telah bersusah mendidik, meluangkan waktu, bahkan memberikan segalanya hanya untuk kami terlebih adik yang kusayangi itu atau bisa disebut dulu. “Tapi,……………” tidak maaf ‘Tuhan…’ aku berkata seperti itu. Sampai kapanpun aku akan tetap menyayanginya. Jujur dari hati. Aku sayang adikku.
Entah adikku dan kekasih barunya itu pergi kemana. Kami mencari kemana-mana. Hanya berharap tak terjadi apa-apa dan adikku juga takkan melakukan apa-apa yang di luar batas. Aku takut bahkan sangat takut. Apalagi adikku pergi bersama perempuan. Mungkin dulu aku tak terlalu khawatir, tapi sekarang tidak lagi karena sekarang adikku juga bukan adik yang dulu lagi.
Yang pada akhirnya, tepat tanggal 12 April 1997, adikku tergeletak lemas tak berdaya bercucuran darah di seberang jalan di depan sebuah warung soto favoritku.
“Ya, Tuhan apa yang terjadi. Ternyata dugaanku benar. Aku hanya berharap Tuhan memberikan kesempatan baginya lagi”
Doaku terkabul. Adikku selamat, tapi…….kaki kanannya harus diamputasi karena luka yang sangat parah. Di situ aku berharap adikku akan berubah setelah kejadian itu.
Tapi tidak….adikku malah semakin menjadi, tak kapok dengan teguran Tuhan itu. Dia tetap saja santai pacaran dengan kakinya yang hilang satu itu, ditambah dia malah semakin giat meminum miras dan sebangsanya. Membuat Ibu semakin sedih dan menangis setiap malam. Ibu merasa telah gagal mendidik Furqon, adikku. Yang sekarang nama itu telah digant menjadi ‘Steven’ yang entah apa artinya itu.
Aku benar-benar kecewa. Yang pada akhirnya adikku memutuskan untuk putus sekolah dan hanya ingin bermain bersama teman-temannya saja. Ibu dan ayah sudah melarang keras. Tapi apa daya Furqon tetap melawan. Yang pada akhirnya, saat akan pergi bermain, Tuhan mengujinya lagi. Furqon kecelakaan bahkan kecelakaan ini lebih tragis dibandingkan dengan kecelakaan yang baru menimpanya seminggu lalu.
Kaki dan tangan kirinya harus diamputasi. “Ya, Tuhan apa maksud semua ini. Jika kau ingin mengambil adikku aku sudah ikhlas, bahkan aku rela memberikan nyawaku sekalipun. Tapi tolong Tuhan jangan seperti ini”
Aku mengira bahwa setelah kejadian itu adikku benar-benar akan kembali dan sadar. Tapi TIDAK ternyata. Adikku malah semakin menjadi lagi bahkan sudah stadium 3. Adikku malah menjelek-jelekkan Allah, dan menyalahkannya. Membuat tanganku melayang ke pipi adik kesayanganku yang lembut penuh rahmat itu (dulu).
Adikku pergi, menangis keluar dengan tongkat pengganti kakinya ditambah hanya berpegangan dengan tangan satu yang rapuh, bukan rapuh termakan usia. Tapi rapuh termakan kemunafikan dan kebohongan yang sekarang sedang giat-giatnya menyerang hati adikku yang dulunya lembut dan penuh iman itu.
“AAAAAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa>>>>>>>>>>>>……………………….!!!” Hatiku miris mendengar jeritan itu ada apa Tuhan? “Jangan-jangan itu…………” aku segera berlari kea rah jalan raya mencari sumber suara yang terdengar begitu menggelegar itu.
“ASTAGAAA.. Furqon…..!!!!” aku menangis segera menghampiri adikku itu. Betapa besar Tuhan. Aku baru melihat manusia kecelakaan begitu parahnya sepeti itu.
Saat itu Ibu langsung jatuh pingsan tak berdaya melihat anak kesayangannya telah rusak raganya. Aku takut rasanya ingin menjerit melihat kejadian sore yang memilukan itu.
Saat itu aku hanya berharap bila Tuhan telah mengutus Jibril mengambil adikku dari kami, aku ingin adikku diambil dengan cara yang baik dan tulus, sebaik, setulus, dan sejujur kasih sayang kami untuk Furqon, adikku.
Aku sudah kehilangan harapan.
“Tuhan kali ini aku benar-benar jujur. Tolong jika kau hanya ingin mengambil adikku dengan cara yang mengenaskan, jangan Tuhan jangan aku mohon. Kalau itu memang benar, lebih baik tukarkan saja nyawaku ini Tuhan untuk adikku. Aku sangat menyayanginya. Aku ingin dia berubah. Walau nanti akhirnya dia hanya bisa hidup dengan segala keterbatasan fisik, tapi aku berharap setelah dia engkau berikan hidup untuk ketiga kalinya aku yakin pasti dia akan berubah. Ayo Tuhan tukarkan sekarang!! Cepat Tuhan aku tak ingin dia merasakan sakit lebih panjang lagi menunggu ajalnya. Aku tak ingin kejujuran yang selama ini telah orangtuaku cipta hanya akan berbuah dusta saja Tuhan. Aku mohon Tuhan dengan segala kerendahana hatiku.
Walau aku tahu bahwa amalku belum seberapa. Tak cukup hanya dengan hafal perbuatan baik yang sederhana dan mengamal selama ini saja kalau aku tak bisa menjaga kejujuran hati orangtuaku. Komohon Tuhan kumohon!! Aku yakin karena aku juga yakin kehendakMu Tuhan. KUMOHON!!!. “
GLEGAR,petir-petir menggelegar, dan angin bertiup kencang….. sore gelap itu tiba-tiba berubah jadi cerah benderang dengan hembusan angin sejuk menerpa kerudung putihku. Membuatku merinding, dan yakin Tuhan telah menjawab doaku. Saat itu aku bersiap menghadapi jawaban Tuhan. Menanti Jibril mengambilku dengan cara yang baik.
Perlahan badanku terasa dingin dan lemas, sampai aku takut dan mencoba menutup mata, dan ternyata menutup mata untuk selamanya.
Terima kasih Tuhan atas jawaban doaku. Walau tetap saja kejujuran yang selama ini tercipta hanya berbuah dusta. Tapi aku lega bahkan sangat lega. Aku hanya berharap adikku bisa hidup jujur dan tak lagi dusta dengan suratan hidupnya di dunia yang hanya penuh fatamorgana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar