Aku terlahir sebagai seorang anak yang tak diinginkan oleh manusia-manusia. Terlebih kedua orangtuaku yang seharusnya ada di saat-saatku yang seperti ini. Sendiri, sebatangkara, tak tahu harus berbuat apa.
Lemah tak berdaya, menangis, bersedih, termenung seolah telah menjadi rutinitasku sehari-hari.
Semut, daun jatuh, awan hitam, awan putih, hujan, angin menerpa, juga telah mengisi kekosongan hidupku ini, seolah telah menjadi sahabat setiaku. Lebih setia, lebih mengerti dibanding dengan seorang manusia sekalipun.
Jika bisa memilih, aku tidak ingin terlahir ke dunia ini. Dunia penuh fana, penuh derita, penuh nestapa. Lebih memilih bersama Tuhan selamanya. Tapi apa daya pada akhirnya terlahirlah juga.
Memiliki orang tua sempurna harta, sempurna rupa, sempurna fisik, tapi bagiku tak sempurna perasaan dan hati. Aku hanya disia-siakan. Aku tahu bahkan sangat tahu bahwa kedua orangtuaku memang tak ingin apalagi berniat melahirkanku.
Melahirkan seorang anak cacat yang sama sekali tak memiliki satu keistimewaan tersendiri. Hanya bisa merepotan, hanya bisa menggantungkan.
“Ya Tuhan. Tolong aku yang lemah ini. Aku hanya ingin dianggap, aku hanya ingin dimengerti. Hanya itu Tuhan, hanya itu”.
Walau lagi-lagi aku tahu bahkan sangat tahu. Bahwa itu hanyalah angan-angan biasa yang yang hanya menjadi sebuah mimpi konyol yang tak ada artinya apa-apa.
Tapi tekad entah mengapa aku ingin sekali maju. Maju untuk menang. Membuktikan bahwa orang cacat sepertiku ini bisa maju. Maju tanpa orang mengasihi. Maju tanpa orangtua sendiri.
Merubah hidup, merubah nasib, merubah hati, merubah perasaan. Fisikku memang cacat, fisikku memang lemah. Tapi jiwaku tak cacat, tapi hatiku tak lemah. Aku kuat, aku bisa.
Yang pada akhirnya, pada tahun 1992 tepat pada tanggal 22 April, orangtuaku benar-benar telah mencaciku, mencabik perasaanku. Aku dikirim di sebuah asrama.
Asrama yang asing bagiku, entah orang-orangnya, tempatnya, bahkan suasananya sekalipun. Aku seperti berada dalam penjara. Di situ aku termenung.
Apakah ini pertanda bahwa orangtuaku memang benar-benar ingin membuangku. Sampai seperti inikah mereka membenciku? Sampai seperti inikah mereka tak menganggapku? Serendah inikah aku?
Ok, aku bisa mengerti jika memang mereka ingin membuatku mandiri. Tapi menurutku apa yang dilakukan oleh orangtuaku sepertinya bukan untuk hal itu. Tapi memang untuk membuangku, untuk menjauhiku. Anak cacat yang tak ada artinya apa-apa.
“Hush….Rani kenapa melamun? Ayo masuk hari sudah gelap. Mau hujan, kita makan yuk di dalam sama teman-teman yang lain?. Makanannya sudah siap lho!” Bu Ana mengagetkanku, hatiku benar-benar tersentuh.
Selama 9 tahun aku hidup di dunia ini, baru sekarang aku merasakan kasih sayang, perhatian yang benar-benar real dari hati seorang manusia.
“Luar Biasa!” ternyata manusia seperti ini memang ada di dunia. Aku merasa sangat senang. Berasa terbang. Berasa tak lagi memikirkan orangtuaku yang selalu acuh tak acuh atas keadaanku ini.
Ya, sejak saat itulah aku mulai maju. Maju untuk menang. Maju untuk menjadi seorang manusia seutuhnya.
Sejak saat itu juga aku mulai betah di asrama. Bahkan lebih betah dari di rumahku sendiri.
Di rumah yang bagiku seperti penjara, penjara hidup dengan besi-besinya yang begitu dingin. Dingin di dada, dingin di hati, hanya membuat sesak, hanya membuat marah, hanya membuat nestapa.
Di asrama, aku diajarkan semuanya. Dari yang tak ku tahu sampai yang sama sekali tak ku mengerti. Mengajariku arti hidup, arti hidup yang sesungguhnya.
Bersama teman-teman setia, bersama teman-teman senasib dan seperjuangan juga. Baru kali ini aku merasakan bahagia. Sampai aku tak sadar bahwa selama 22 tahun lamanya aku telah berada di asrama yang bagiku seperti surga. S
Selama 22 tahun itu juga aku tak diberi kabar, apalagi dikunjungi oleh orangtuaku. Tapi sekarang tak mengapa aku sudah terbiasa dengan keadaanku yang selalu saja seperti itu. Tak dianggap oleh orangtua sendiri.
Sampai pada akhirnya. Dalam hidupku ini aku menemukan sesosok pendamping yang sangat setia, menyayangiku dengan tulus, dengan kasih sayang yang sejati.
Ya, dia adalah Rico Palevo, seorang pengusaha kaya yang sukses dan penyayang. Yang pada akhirnya hari yang kutunggu-tunggupun tiba. Tanggal 15 Desember tahun 2005 tepat pukul 10.00 WIB.
Menyuntingku, menyatakan perasaannya dihadapan orang banyak tanpa rasa malu sedikitpun. Tanpa rasa ragu sedikitpun. Aku benar-benar bahagia. Walau tak ada orangtuaku saat itu. Aku hanya berharap Tuhan selalu memberi keselamatan atasnya.
Tak berasa, sudah 1 tahun bersama Rico. Sampai akhirnya Tuhan benar-benar memberiku kesempatan, seorang buah hati yang begitu cantik dengan fisik sempurna telah lahir melengkapi hidupku.
Bahagia dan rasa syukur, itulah yang berada di hatiku….
Walau saat itu lagi-lagi aku teringat orangtuaku. Aku ingin sekali mereka berada di sini. Melihat cucunya yang manis, yang cantik, yang akan membuat mereka bangga.
Tapi, oh Tuhan maafkan aku. Lagi-lagi aku berangan yang tak pasti yang tak akan terwujud ini.
Sampai akhirnya lagi Tuhan yang begitu adil dan sempurna itu memberiku kesempatan untuk menimang seorang anak lagi.
Anak yang juga sempurna fisiknya, anak manis yang begitu rupawan seperti ayahnya. Lagi-lagi bahagai dan rasa syukurlah yang ada di hatiku ini.
Benar, mereka anak-anakku tumbuh menjadi anak-anak manis yang penuh keceriaan. Bisa menerima keadaanku apa adanya dengan tulus, dengan kejujuran hati.
Yang pada akhirnya selama 19 tahun tak bertemu orangtuaku. Sejak aku dititipkan atau lebih tepatnya dibuang di sebuah asrama yang malah membuatku tumbuh menjadi seorang gadis yang benar-benar mampu melawan kerasnya hidup.
Aku mendapat warta bahwa kedua orangtuaku kini telah tiada. Bukan tiada lagi disisiku tapi juga telah tiada di dunia fana.
Hatiku menjerit tak bisa menahan perasaan. Aku menangis menolak suratan Tuhan ini. Tapi apadaya aku juga tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Tapi entah mengapa aku tidak merasakan sesal dalam dada. Aku hanya berharap Tuhan menempatkan mereka disisnya yang paling baik, yang mulia bagi diri mereka.
Berharap juga Tuhan mengampuni mereka atas sikap dan tingkah lakunya yang tidak mensyukuri akan nikmat dan karuni Tuhan yang begitu berharga yaitu aku anak mereka.
Anak yang seharusnya dijaga dan disayang. Bukan untuk disakiti dan dibuang. Dalam tekad aku telah merasa puas bahwa aku bisa maju, aku bisa menunjukkan pada mereka bahwa aku bisa tanpa mereka.
Berpesan pada Tuhan untuk menyampaikannya pada mereka……
“Ibu, Ayah baik-baiklah kalian di sana. Aku telah tumbuh menjadi seorang manusia yang berharga. Walau aku tahu mungkin kalian masih menganggapku tak berdaya. Tapi tak apa aku akan tetap menyayangi kalian, aku akan tetap mencintai kalian tulus dengan jiwa dan raga. Terimakasih atas semuanya”
Kini aku mulai mengerti apa artinya hidup, seorang manusia hanyalah ciptaan Tuhan yang tak sempurna. Sekalipun mereka memiliki segalanya.
Yang hidup bahagia pasti akan musnah, begitu juga manusia yang nestapa pasti akan musnah juga. Musnah jiwa musnah raga.
Kembali lagi padaNya. Hidup ini banyak mengandung pelajaran tapi itu semu , tergantung pada kita apakah mau mempelajainya atau tidak.
Aku mengerti benar-benar mengerti. Aku takkan lagi menyesali semua ini. Kini apa yang telah kumiliki sudah cukup untuk diriku yang lemah ini, yaitu aku memiliki keluarga yang mengerti.
Mengerti di setiap saat ku ingin berbagi hati. Terima kasih Tuhan, kini ku telah dianggap. Karena aku juga manusia.