Senin, 27 Desember 2010

Saat Kejujuran Berbuah Dusta

Aku terlahir di tengah keluarga bagahia penuh berkah, penuh rahmat dari Allah, siapa lagi kalau bukan Tuhan yang Maha Esa dan Kuasa. Dengan kuasaNya itulah aku hidup, dengan kuasaNya itulah terlahir. Aku senang aku bahagia.
Ayah, Ibu, dan terutama adikku. Adik segalanya bagi aku dan kehidupanku. Memberi petunjuk dikala ku lepas dari jalanNya, memberi petunjuk dikala ku lupa akan nikmatNya.
Adik sebagai sahabat, adik yang juga sebagai kekasih. Kekasih yang lebih baik, lebih mengerti dari kekasih siapapun juga. Tapi masih belum sesempurna kekasih Allah, yaitu seorang Nabi. Nabi yang selalu memberi petunjuk dan nasihat baik pada umatnya, dan menurutku adikku hampir seperti itu. Tapi itu hampir dan bukan sama karena itu tidak akan pernah terjadi.
Bahkan saat orangtua tak ada untukku, datanglah adikku. Menghibur saat ku sedang nestapa. Aku bersyukur bahkan sangat bersyukur. Tuhan telah mengirim adik seperti ini. Tapi itu takkan terjadi jika tak ada orangtuaku. Aku juga beterimaksih pada mereka, orangtuaku.
Mereka berhasil menjadikan adikku sebagai seseorang yang baik dan benar. Tak hanya di mata manusia bahkan di mata Tuhan sekalipun. Dengan kejujuran dan ketulusan hati yang mereka miliki. Yang asalnya sudah tak diragukan dan bisa ditebak lagi. Pasti darimu Tuhan, Tuhan Maha Sempurna dan Maha segalanya “terimakasih” .
Tak tahu kenapa setiap melihat adikku aku langsung tersadar dan terbangun dari tidur mungkarku yang selama ini menerjang tiba-tiba. Sungguh ini benar-benar fakta. Aku sayang adikku bahkan cinta dan sangat. Aku tahu itu, begitu juga adikku pasti dia juga mempunyai perasaan yang sama padaku. Seorang kakak yang seharusnya lebih dewasa dari adiknya tapi ini bukan bahkan tidak SAMASEKALI !!!!
Kadang aku malu, tapi bukan kepada manusia tapi pada diriku sendiri dan pada Tuhan. Kami tercipta sama-sama sebagai manusia bahkan sebagai saudara kandung. Aku terlihat begitu bodoh saat bersanding dengan adikku. Dia begitu gagah, begitu menawan, begitu rupawan.
Dengan jubah putih panjang yang melekat di badan indahnya itu. Membuat wanita manapun jatuh cinta padanya. Ditambah kulit putih yang melengkapi kesempurnaan fisik itu, membuat orang yang melihatnya tak ingin pergi dan jauh-jauh darinya. Senyuman dan sapaannya begitu memepesona. Yang tambah membuat istimewa adalah kejujuran dan ketulusan hatinya yang benar-benar nyata. Aku bangga benar-benar bangga. Bukan bangga karena fisiknya tapi karena kejujuran dan ketulusan yang dimilikinya.
“Uh…bodoh!!! Aku bangga dengan adikku. Tapi kenapa kadang aku jengkel juga karena aku selalu terlihat bodoh ketika berada di sampingnya”
Tapi juga tak selalu dan tak selamanya aku menyesali ini. Aku sadar dan aku bukan sombong. Kalau aku bodoh kenapa selama ini aku mencoba mempelajari hal hal baik, yang selama ini diremehkan setiap orang. Kenapa juga kalau aku bodoh aku mencoba mempelajari bahkan mengamalkan isi kitab suci. Kenapa juga kalau aku bodoh aku membagi ilmu cetek yang kupunya ini kepada manusia-manusia miskin ilmu miskin iman?
Ya, aku sadar itu. “Kalau dipikir-pikir aku juga nggak bodoh-bodoh amat” tapi memang adikku lebih bagiku. Lebih apapun itu.
Tapi………………tidak untuk sekarang. Kejujuran yang selama ini dibangun dan dicipta susah payah oleh orangtuaku hilang dan musnalah sudah.
Adikku bukan seperti dulu. Adikku bukan adikku yang dulu. Semua berubah, semua hancur sudah. Aku benar-benar tak mengerti.
“Apa mungkin ini salahku” tak bisa mendidik adik yang seharusnya menjadi tanggungjawabku ketika orangtua tak ada. Tak bisa menjaga adik untuk selalu berbuat semestinya. Tak bisa merawatnya ketika sakit iman sakit ilmu datang begitu saja.
Aku menyesal. Aku kecewa. Menyesal dan kecewa pada diriku sendiri. Entah kenapa ini semua bisa terjadi. Entah kenapa ini semua harus terjadi pada adikku, kenapa harus adikku?
“Tuhan….kembalikan semua Tuhan. Kembalikan semua untuk adikku. Bahkan aku rela menukar nyawaku untuk kembalinya kejujuran dan ketulusan hatinya Tuhan, hati adikku….”
Seharusnya aku yang sebagai kakak memberikan sesuatu pada adikku, sesuatu yang takkan membuatnya seperti ini. Menjadi seperti tak pantas lagi disebut sebagai manusia. Bahkan tak pelak lagi menjadi seorang manusia mengerikan di planet ini.
Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Hanya menyesal dan berdosa yang sekarang sedang melandaku.
Saat itu tepat tanggal 23 Maret 1997, adikku mulai membuat masalah besar yang sama sekali tak ku sangka dan sadari. Saat itu adikku mulai mengenal pacaran. Bahkan lebih mengejutkannya lagi, saat itu adikku telah mempunyai pacar, yang selama ini tak ku ketahui.
Aku semakin sadar dan tahu, berarti selama ini adikku telah berubah sebelum tanggal 23 Maret, waktu di mana aku merasa sangat tak berharga dan tak pantas lagi dipanggil ‘Kakak’. Aku menyesal….
Adikku semakin menjadi, yang pada akhirnya orangtuaku mengirimnya ke Pondok Pesantren. Tempat di mana nantinya dia akan dibimbing. Tapi belum ada satu minggu di sana, adikku sudah keluar. Keluar bukan karena kemauan ayah dan ibu. Tapi keluar karena kemauannya sendiri. Kabur bersama kekasih barunya, meninggalkan yang dulu.
Betapa hancur hatiku melihat adik yang selama ini kubanggakan dan kudidik akhirnya tumbuh menjadi manusia yang seperti ini. Apalagi orangtuaku, mereka tambah hancur. Selama ini telah bersusah mendidik, meluangkan waktu, bahkan memberikan segalanya hanya untuk kami terlebih adik yang kusayangi itu atau bisa disebut dulu. “Tapi,……………” tidak maaf ‘Tuhan…’ aku berkata seperti itu. Sampai kapanpun aku akan tetap menyayanginya. Jujur dari hati. Aku sayang adikku.
Entah adikku dan kekasih barunya itu pergi kemana. Kami mencari kemana-mana. Hanya berharap tak terjadi apa-apa dan adikku juga takkan melakukan apa-apa yang di luar batas. Aku takut bahkan sangat takut. Apalagi adikku pergi bersama perempuan. Mungkin dulu aku tak terlalu khawatir, tapi sekarang tidak lagi karena sekarang adikku juga bukan adik yang dulu lagi.
Yang pada akhirnya, tepat tanggal 12 April 1997, adikku tergeletak lemas tak berdaya bercucuran darah di seberang jalan di depan sebuah warung soto favoritku.
“Ya, Tuhan apa yang terjadi. Ternyata dugaanku benar. Aku hanya berharap Tuhan memberikan kesempatan baginya lagi”
Doaku terkabul. Adikku selamat, tapi…….kaki kanannya harus diamputasi karena luka yang sangat parah. Di situ aku berharap adikku akan berubah setelah kejadian itu.
Tapi tidak….adikku malah semakin menjadi, tak kapok dengan teguran Tuhan itu. Dia tetap saja santai pacaran dengan kakinya yang hilang satu itu, ditambah dia malah semakin giat meminum miras dan sebangsanya. Membuat Ibu semakin sedih dan menangis setiap malam. Ibu merasa telah gagal mendidik Furqon, adikku. Yang sekarang nama itu telah digant menjadi ‘Steven’ yang entah apa artinya itu.
Aku benar-benar kecewa. Yang pada akhirnya adikku memutuskan untuk putus sekolah dan hanya ingin bermain bersama teman-temannya saja. Ibu dan ayah sudah melarang keras. Tapi apa daya Furqon tetap melawan. Yang pada akhirnya, saat akan pergi bermain, Tuhan mengujinya lagi. Furqon kecelakaan bahkan kecelakaan ini lebih tragis dibandingkan dengan kecelakaan yang baru menimpanya seminggu lalu.
Kaki dan tangan kirinya harus diamputasi. “Ya, Tuhan apa maksud semua ini. Jika kau ingin mengambil adikku aku sudah ikhlas, bahkan aku rela memberikan nyawaku sekalipun. Tapi tolong Tuhan jangan seperti ini”
Aku mengira bahwa setelah kejadian itu adikku benar-benar akan kembali dan sadar. Tapi TIDAK ternyata. Adikku malah semakin menjadi lagi bahkan sudah stadium 3. Adikku malah menjelek-jelekkan Allah, dan menyalahkannya. Membuat tanganku melayang ke pipi adik kesayanganku yang lembut penuh rahmat itu (dulu).
Adikku pergi, menangis keluar dengan tongkat pengganti kakinya ditambah hanya berpegangan dengan tangan satu yang rapuh, bukan rapuh termakan usia. Tapi rapuh termakan kemunafikan dan kebohongan yang sekarang sedang giat-giatnya menyerang hati adikku yang dulunya lembut dan penuh iman itu.
“AAAAAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa>>>>>>>>>>>>……………………….!!!” Hatiku miris mendengar jeritan itu ada apa Tuhan? “Jangan-jangan itu…………” aku segera berlari kea rah jalan raya mencari sumber suara yang terdengar begitu menggelegar itu.
“ASTAGAAA.. Furqon…..!!!!” aku menangis segera menghampiri adikku itu. Betapa besar Tuhan. Aku baru melihat manusia kecelakaan begitu parahnya sepeti itu.
Saat itu Ibu langsung jatuh pingsan tak berdaya melihat anak kesayangannya telah rusak raganya. Aku takut rasanya ingin menjerit melihat kejadian sore yang memilukan itu.
Saat itu aku hanya berharap bila Tuhan telah mengutus Jibril mengambil adikku dari kami, aku ingin adikku diambil dengan cara yang baik dan tulus, sebaik, setulus, dan sejujur kasih sayang kami untuk Furqon, adikku.
Aku sudah kehilangan harapan.
“Tuhan kali ini aku benar-benar jujur. Tolong jika kau hanya ingin mengambil adikku dengan cara yang mengenaskan, jangan Tuhan jangan aku mohon. Kalau itu memang benar, lebih baik tukarkan saja nyawaku ini Tuhan untuk adikku. Aku sangat menyayanginya. Aku ingin dia berubah. Walau nanti akhirnya dia hanya bisa hidup dengan segala keterbatasan fisik, tapi aku berharap setelah dia engkau berikan hidup untuk ketiga kalinya aku yakin pasti dia akan berubah. Ayo Tuhan tukarkan sekarang!! Cepat Tuhan aku tak ingin dia merasakan sakit lebih panjang lagi menunggu ajalnya. Aku tak ingin kejujuran yang selama ini telah orangtuaku cipta hanya akan berbuah dusta saja Tuhan. Aku mohon Tuhan dengan segala kerendahana hatiku.
Walau aku tahu bahwa amalku belum seberapa. Tak cukup hanya dengan hafal perbuatan baik yang sederhana dan mengamal selama ini saja kalau aku tak bisa menjaga kejujuran hati orangtuaku. Komohon Tuhan kumohon!! Aku yakin karena aku juga yakin kehendakMu Tuhan. KUMOHON!!!. “
GLEGAR,petir-petir menggelegar, dan angin bertiup kencang….. sore gelap itu tiba-tiba berubah jadi cerah benderang dengan hembusan angin sejuk menerpa kerudung putihku. Membuatku merinding, dan yakin Tuhan telah menjawab doaku. Saat itu aku bersiap menghadapi jawaban Tuhan. Menanti Jibril mengambilku dengan cara yang baik.
Perlahan badanku terasa dingin dan lemas, sampai aku takut dan mencoba menutup mata, dan ternyata menutup mata untuk selamanya.
Terima kasih Tuhan atas jawaban doaku. Walau tetap saja kejujuran yang selama ini tercipta hanya berbuah dusta. Tapi aku lega bahkan sangat lega. Aku hanya berharap adikku bisa hidup jujur dan tak lagi dusta dengan suratan hidupnya di dunia yang hanya penuh fatamorgana.

AKU JUGA MANUSIA

Aku terlahir sebagai seorang anak yang tak diinginkan oleh manusia-manusia. Terlebih kedua orangtuaku yang seharusnya ada di saat-saatku yang seperti ini. Sendiri, sebatangkara, tak tahu harus berbuat apa.
Lemah tak berdaya, menangis, bersedih, termenung seolah telah menjadi rutinitasku sehari-hari.
Semut, daun jatuh, awan hitam, awan putih, hujan, angin menerpa, juga telah mengisi kekosongan hidupku ini, seolah telah menjadi sahabat setiaku. Lebih setia, lebih mengerti dibanding dengan seorang manusia sekalipun.
Jika bisa memilih, aku tidak ingin terlahir ke dunia ini. Dunia penuh fana, penuh derita, penuh nestapa. Lebih memilih bersama Tuhan selamanya. Tapi apa daya pada akhirnya terlahirlah juga.
Memiliki orang tua sempurna harta, sempurna rupa, sempurna fisik, tapi bagiku tak sempurna perasaan dan hati. Aku hanya disia-siakan. Aku tahu bahkan sangat tahu bahwa kedua orangtuaku memang tak ingin apalagi berniat melahirkanku.
Melahirkan seorang anak cacat yang sama sekali tak memiliki satu keistimewaan tersendiri. Hanya bisa merepotan, hanya bisa menggantungkan.
“Ya Tuhan. Tolong aku yang lemah ini. Aku hanya ingin dianggap, aku hanya ingin dimengerti. Hanya itu Tuhan, hanya itu”.
Walau lagi-lagi aku tahu bahkan sangat tahu. Bahwa itu hanyalah angan-angan biasa yang yang hanya menjadi sebuah mimpi konyol yang tak ada artinya apa-apa.
Tapi tekad entah mengapa aku ingin sekali maju. Maju untuk menang. Membuktikan bahwa orang cacat sepertiku ini bisa maju. Maju tanpa orang mengasihi. Maju tanpa orangtua sendiri.
Merubah hidup, merubah nasib, merubah hati, merubah perasaan. Fisikku memang cacat, fisikku memang lemah. Tapi jiwaku tak cacat, tapi hatiku tak lemah. Aku kuat, aku bisa.
Yang pada akhirnya, pada tahun 1992 tepat pada tanggal 22 April, orangtuaku benar-benar telah mencaciku, mencabik perasaanku. Aku dikirim di sebuah asrama.
Asrama yang asing bagiku, entah orang-orangnya, tempatnya, bahkan suasananya sekalipun. Aku seperti berada dalam penjara. Di situ aku termenung.
Apakah ini pertanda bahwa orangtuaku memang benar-benar ingin membuangku. Sampai seperti inikah mereka membenciku? Sampai seperti inikah mereka tak menganggapku? Serendah inikah aku?
Ok, aku bisa mengerti jika memang mereka ingin membuatku mandiri. Tapi menurutku apa yang dilakukan oleh orangtuaku sepertinya bukan untuk hal itu. Tapi memang untuk membuangku, untuk menjauhiku. Anak cacat yang tak ada artinya apa-apa.
“Hush….Rani kenapa melamun? Ayo masuk hari sudah gelap. Mau hujan, kita makan yuk di dalam sama teman-teman yang lain?. Makanannya sudah siap lho!” Bu Ana mengagetkanku, hatiku benar-benar tersentuh.
Selama 9 tahun aku hidup di dunia ini, baru sekarang aku merasakan kasih sayang, perhatian yang benar-benar real dari hati seorang manusia.
“Luar Biasa!” ternyata manusia seperti ini memang ada di dunia. Aku merasa sangat senang. Berasa terbang. Berasa tak lagi memikirkan orangtuaku yang selalu acuh tak acuh atas keadaanku ini.
Ya, sejak saat itulah aku mulai maju. Maju untuk menang. Maju untuk menjadi seorang manusia seutuhnya.
Sejak saat itu juga aku mulai betah di asrama. Bahkan lebih betah dari di rumahku sendiri.
Di rumah yang bagiku seperti penjara, penjara hidup dengan besi-besinya yang begitu dingin. Dingin di dada, dingin di hati, hanya membuat sesak, hanya membuat marah, hanya membuat nestapa.
Di asrama, aku diajarkan semuanya. Dari yang tak ku tahu sampai yang sama sekali tak ku mengerti. Mengajariku arti hidup, arti hidup yang sesungguhnya.
Bersama teman-teman setia, bersama teman-teman senasib dan seperjuangan juga. Baru kali ini aku merasakan bahagia. Sampai aku tak sadar bahwa selama 22 tahun lamanya aku telah berada di asrama yang bagiku seperti surga. S
Selama 22 tahun itu juga aku tak diberi kabar, apalagi dikunjungi oleh orangtuaku. Tapi sekarang tak mengapa aku sudah terbiasa dengan keadaanku yang selalu saja seperti itu. Tak dianggap oleh orangtua sendiri.
Sampai pada akhirnya. Dalam hidupku ini aku menemukan sesosok pendamping yang sangat setia, menyayangiku dengan tulus, dengan kasih sayang yang sejati.
Ya, dia adalah Rico Palevo, seorang pengusaha kaya yang sukses dan penyayang. Yang pada akhirnya hari yang kutunggu-tunggupun tiba. Tanggal 15 Desember tahun 2005 tepat pukul 10.00 WIB.
Menyuntingku, menyatakan perasaannya dihadapan orang banyak tanpa rasa malu sedikitpun. Tanpa rasa ragu sedikitpun. Aku benar-benar bahagia. Walau tak ada orangtuaku saat itu. Aku hanya berharap Tuhan selalu memberi keselamatan atasnya.
Tak berasa, sudah 1 tahun bersama Rico. Sampai akhirnya Tuhan benar-benar memberiku kesempatan, seorang buah hati yang begitu cantik dengan fisik sempurna telah lahir melengkapi hidupku.
Bahagia dan rasa syukur, itulah yang berada di hatiku….
Walau saat itu lagi-lagi aku teringat orangtuaku. Aku ingin sekali mereka berada di sini. Melihat cucunya yang manis, yang cantik, yang akan membuat mereka bangga.
Tapi, oh Tuhan maafkan aku. Lagi-lagi aku berangan yang tak pasti yang tak akan terwujud ini.
Sampai akhirnya lagi Tuhan yang begitu adil dan sempurna itu memberiku kesempatan untuk menimang seorang anak lagi.
Anak yang juga sempurna fisiknya, anak manis yang begitu rupawan seperti ayahnya. Lagi-lagi bahagai dan rasa syukurlah yang ada di hatiku ini.
Benar, mereka anak-anakku tumbuh menjadi anak-anak manis yang penuh keceriaan. Bisa menerima keadaanku apa adanya dengan tulus, dengan kejujuran hati.
Yang pada akhirnya selama 19 tahun tak bertemu orangtuaku. Sejak aku dititipkan atau lebih tepatnya dibuang di sebuah asrama yang malah membuatku tumbuh menjadi seorang gadis yang benar-benar mampu melawan kerasnya hidup.
Aku mendapat warta bahwa kedua orangtuaku kini telah tiada. Bukan tiada lagi disisiku tapi juga telah tiada di dunia fana.
Hatiku menjerit tak bisa menahan perasaan. Aku menangis menolak suratan Tuhan ini. Tapi apadaya aku juga tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Tapi entah mengapa aku tidak merasakan sesal dalam dada. Aku hanya berharap Tuhan menempatkan mereka disisnya yang paling baik, yang mulia bagi diri mereka.
Berharap juga Tuhan mengampuni mereka atas sikap dan tingkah lakunya yang tidak mensyukuri akan nikmat dan karuni Tuhan yang begitu berharga yaitu aku anak mereka.
Anak yang seharusnya dijaga dan disayang. Bukan untuk disakiti dan dibuang. Dalam tekad aku telah merasa puas bahwa aku bisa maju, aku bisa menunjukkan pada mereka bahwa aku bisa tanpa mereka.
Berpesan pada Tuhan untuk menyampaikannya pada mereka……
“Ibu, Ayah baik-baiklah kalian di sana. Aku telah tumbuh menjadi seorang manusia yang berharga. Walau aku tahu mungkin kalian masih menganggapku tak berdaya. Tapi tak apa aku akan tetap menyayangi kalian, aku akan tetap mencintai kalian tulus dengan jiwa dan raga. Terimakasih atas semuanya”
Kini aku mulai mengerti apa artinya hidup, seorang manusia hanyalah ciptaan Tuhan yang tak sempurna. Sekalipun mereka memiliki segalanya.
Yang hidup bahagia pasti akan musnah, begitu juga manusia yang nestapa pasti akan musnah juga. Musnah jiwa musnah raga.
Kembali lagi padaNya. Hidup ini banyak mengandung pelajaran tapi itu semu , tergantung pada kita apakah mau mempelajainya atau tidak.
Aku mengerti benar-benar mengerti. Aku takkan lagi menyesali semua ini. Kini apa yang telah kumiliki sudah cukup untuk diriku yang lemah ini, yaitu aku memiliki keluarga yang mengerti.
Mengerti di setiap saat ku ingin berbagi hati. Terima kasih Tuhan, kini ku telah dianggap. Karena aku juga manusia.

Rabu, 22 Desember 2010

funny story from gusdur

Hanya 3 poLisi Jujur

Gus Dur sering ceplas-ceplos ketika mengkritik. Tidak terkecuali ketika mengkritik polisi. ketika ditanya wartawan sebuah televisi swasta inilah jawaban Gusdur yg memicu gelak tawa:

Wartawan: Gus.. menurut anda polisi yang paling jujur di Indonesia siapa?

Gusdur:
di negeri ini hanya ada tiga polisi yang jujur. “Pertama, patung polisi. Kedua, polisi tidur. Ketiga, polisi Hoegeng (mantan Kapolri).”

kontan riuh tawapun membahana. wakakak.

fullcolor lollipop candy

story of lollipop

Lolipop tersedia dalam berbagai warna dan rasa, terutama rasa buah.

Dengan berbagai perusahaan memproduksi lolipop, permen kini hadir di puluhan rasa dan berbagai bentuk.

Mulai dari yang kecil yang bisa dibeli oleh ratusan dan sering diberikan secara gratis di bank , tukang cukur, dll, yang sangat besar terbuat dari permen tongkat dipelintir menjadi lingkaran.

Beberapa lolipop mengandung isi, seperti permen karet atau permen lunak.

Beberapa lolipop kebaruan telah biasa lebih item, seperti mealworm larva , tertanam dalam permen. [2] lolipop kebaruan lain telah-dimakan pusat non, seperti lampu berkedip, tertanam di dalam permen, ada juga kecenderungan lolipop dengan tongkat terpasang ke perangkat bermotor yang membuat seluruh lollipop berputar di mulut seseorang.

Beberapa lolipop telah dipasarkan untuk digunakan sebagai alat bantu diet , meskipun efektifitasnya belum teruji, dan kasus anekdot dari penurunan berat badan mungkin disebabkan oleh kekuatan sugesti . [3] lolipop Rasa dibuat dengan's obat-obatan anak-anak juga telah diciptakan untuk secara efektif memberikan Obat anak-anak tanpa rewel.

Produsen obat juga telah mengembangkan lolipop mengandung fentanyl , sebuah analgesik kuat.

History Sejarah

Gagasan tentang sebuah permen dimakan pada tongkat sangat sederhana, dan besar kemungkinan lollipop telah diciptakan dan diciptakan kembali beberapa kali. [4] Kata "lolly pop" tanggal untuk 1784, tapi awalnya disebut lembut, bukan keras permen. The term may have derived from the term "lolly" (tongue) and "pop" (slap). Istilah ini mungkin berasal dari "lilin" istilah (lidah) dan "pop" (menampar). The first references to the lollipop in its modern context date to the 1920s. [ 5 ] Alternatively it may be a word of Romany origin being related to the Roma tradition of selling toffee apples sold on a stick. Red apple in the Romany language is loli phaba . [ 6 ] Referensi pertama ke lollipop tanggal konteks modern kepada 1920-an. [5] Atau mungkin kata asal Romany yang berkaitan dengan tradisi Roma penjualan apel toffee dijual di tongkat Merah. apel dalam bahasa Romani adalah Loli phaba. [6]

The first confectioneries that closely resemble what we call lollipops date to the Middle Ages , when the nobility would often eat boiled sugar with the aid of sticks or handles. [ 4 ] The invention of the modern lollipop is still something of a mystery but a number of American companies in the early 20th century have laid claim to it. Yang pertama confectioneries yang sangat mirip apa yang kita sebut tanggal lolipop ke Abad Pertengahan , ketika bangsawan sering makan gula direbus dengan bantuan tongkat atau menangani. [4] Penemuan lolipop modern masih sesuatu yang misteri, namun nomor perusahaan Amerika di awal abad 20 telah meletakkan klaim untuk itu. According to the book "Food For Thought (Extraordinary Little Chronicles of the World)" they were invented by George Smith of New Haven , Connecticut , who started making large boiled sweets mounted on sticks in 1908. Menurut buku "Makanan Untuk Pemikiran (Tawarikh Little Luar Biasa Dunia)" mereka diciptakan oleh George Smith dari New Haven , Connecticut , yang mulai membuat permen rebus besar terpasang pada tongkat pada tahun 1908. He named them after a racehorse of the time, Lolly Pop. [ 7 ] Dia menyebutkan mereka setelah kuda pacu waktu, Lolly Pop. [7]